Pengertian Dan Sejarah Hukuim Agraria Di Indonesia
Pengertian Dan Sejarah
Hukum Agraria
Pemahaman yang memadai mengenai hukum agraria tentu sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap unsur-unsur dari hukum agraria itu sendiri yakni hukum dan agraria. Maka dari itu, sebelum melihat hakikat dan esensi dari hukum agraria, terlebih dahulu kita melihat hakikat dan esensi dari hukum dan agraria.
Pengertian
Dari
berbagai literatur kita menemukan beragam definisi mengenai hukum. Boleh
dikatakan bahwa belum ditemukan rumusan yang baku terkait definisi hukum. Namun
demikian, tidaklah salah bila kita melihat pendapat dari sejumlah pakar yang
memberikan pendapat mereka untuk mendefinisikan hukum demi memperkaya wawasan
dan pemahaman kita mengenai hukum.
![]() |
Pengertian Dan Sejarah Hukum Agraria Di Indonesia |
Von
Savigny melihat hukum dari perspektif sejarah adanya hukum. Menurutnya, Das
Recht wird nich gemacht, es ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, ia
ada dan menyatu dengan bangsa). Itu artinya, hukum berakar pada sejarah manusia
sehingga dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat
bangsa.
Berbeda
dengan Savigny, Gustav Radburch melihat hukum dari perspektif budaya. Radburch
mengatakan bahwa hukum itu merupakan suatu unsur budaya yang tentunya harus
mewujudkan salah satu nilai dalam kehidupan konkret manusia sebagaimana
unsur-unsur budaya lainnya. Nilai yang dimaksud adalah keadilan.
Hukum
haruslah suatu perwujudan keadilan atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke
arah terwujudnya keadilan. Kemudian, Padmo Wahyono lebih melihat hukum sebagai
sarana (tool) dengan membatasi hukum sebagai alat atau sarana untuk
menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan
sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Selain
ketiga pakar tersebut, beberapa pakar lebih melihat hukum dari
karakteristiknya. Hans Kelsen, misalnya, melihat hukum sebagai suatu perintah
memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum merupakan norma primer yang menetapkan
sanksi-sanksi. Menurut, Simorangkir dan Sastropranoto, hukum merupakan
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
Pengertian
hukum yang lebih prosedural implementatif dikemukakan oleh Utrecht dan Mochtar
Kusumaatmadja. Hukum dirumuskan Utrecht sebagai himpunan peraturan (baik berupa
perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu,
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah. Sementara itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, dan juga mencakupi lembaga-lembaga dan proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.
Mengacu
pada pengertian yang diberikan beberapa pakar di atas, dapatlah dikatakan bahwa
hukum dibuat dalam rangka mengendalikan tingkah langkah manusia sekaligus
melindungi kepentingan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai
makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat. Pembuatan hukum seyogianya
bermuara pada terciptanya kebaikan bersama (bonum comune) dan terwujudnya
keadilan dalam masyarakat.
Setelah
mendapatkan pemahaman mengenai hukum, selanjutnya kita melihat pengertian agraria.
Istilah agraria sendiri bila dirunut dari asal usulnya berasal dari bahasa
Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti perladangan,
persawahan dan pertanian. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker yang
berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti tanah
pertanian.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian. Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang
terkait dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu
kepemilikan tanah.
Dari
tinjauan etimologisnya terlihat jelas bahwa pengertian agraria secara umum
berkaitan dengan tanah atau tanah pertanian. Namun, bila kita bandingkan
pengertian agraria dalam bahasa Latin, agrarius dengan pengertian agraria dalam
bahasa Inggris, agrarian terlihat bahwa pengertian agraria dalam bahasa Latin
lebih sempit dibandingkan dengan pengertian agraria. Agraria dalam bahasa Latin
hanya mengacu pada tanah untuk pertanian sedangkan dalam bahasa Inggris,
agraria selain diartikan dengan tanah juga tanah untuk permukiman atau
penghunian.
Selanjutnya,
bila kita bandingkan pengertian agraria dalam bahasa Inggris dengan pengertian
agraria yang diatur dalam UUPA, terlihat bahwa pengertian agraria dalam UUPA
begitu luas. Pengertian agraria menurut UUPA meliputi bumi air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sementara, tanah hanya menjadi
bagian terkecil yakni permukaan bumi.
Setelah
melihat pengertian dari hukum dan agraria, selanjutnya kita mencermati
pengertian hukum agraria. Menurut Black Law Dictionary, hukum agraria adalah
hukum yang mengatur kepemilikan, penggunaan dan distribusi tanah pedesaan
(agrarian law is the body of law governing the ownership, use, and distribution
of rural land). Agrarian laws juga menunjuk pada perangkat peraturan-peraturan
hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka
lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Hukum
agraria dalam bahasa Belanda disebut agrarisch recht merupakan istilah yang
dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan. Sehingga, Agrarisch recht
dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan
hukum bagi para penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.
Utrecht
memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum tanah, tetapi
dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi negara. Menurutnya,
hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang
menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan
para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas
mereka itu.
Subekti
dan Tjitrosoedibjo memberikan arti yang luas pada hukum agraria yaitu, agraria
adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan diatasnya. Hukum
agraria (agrarisch recht) adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan
hukum, baik hukum perdata maupun hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula
hukum tata usaha negara (administratif recht) yang mengatur hubungan-hubungan
antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam
seluruh wilayah negara dan menagatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan tersebut.
Valkhof
memberikan pengertian agrarisch recht bukan semua ketentuan hukum yang
berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga
hukum mengenai penguasaan tanah. Mengenai yang dibicarakan adalah hukum agraria
tersendiri adalah atas pertimbangan, bahwa melihat obyek yang diaturnya
ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan merupakan suatu kesatuan yang
sistematis.
Dalam
Hukum Romawi, hukum agraria merupakan hukum untuk pembagian tanah milik negara,
biasanya rampasan perang, diantara rakyatnya, oleh penguasa negara. Hukum
agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya
berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu
mengenai tanah.
Subekti
menjelaskan bahwa agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di
dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok
Agraria. Menurut Lemaire hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat
meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum
administrasi negara. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai
keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian,
tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang
disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.
Menurut
Boedi Harsono, pengertian hukum agraria dalam UUPA adalah dalam arti pengertian
yang luas bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi merupakan
kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan
atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria.
Kelompok
tersebut terdiri atas:
1.
hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
2.
hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3.
hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian
yang dimaksudkan dalam undang-undang di bidang pertambangan;
4.
hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air;
5.
hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan Space
Law), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan keseluruhan
kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang
mengatur agraria, baik dalam pengertian sempitnya yang hanya mencakup permukaan
bumi (tanah) maupun dalam pengertian luasnya yang mencakup, bumi air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum Agraria Dalam
Tinjauan Historis
Perkembangan
hukum agraria tentu tidak terlepas dari proses dan pergelutan yang
melatarbelakangi lahirnya hukum agraria. Artinya, dalam konteks Indonesia
sejarah hukum agraria merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem
hukum Indonesia yang berperan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna
mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.
Lebih
lanjut, pendekatan sejarah hukum ini diperlukan lantaran beberapa alasan
berikut: pertama, hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan
juga dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum
formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi
norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materil). Kedua, norma-norma
hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
Ketiga,
pengetahuan yang memadai mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
umum. Dan, keempat, hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui
sepenuhnya sebagai suatu gejala historis terutama demi perlindungan hak asasi manusia
terhadap perbuatan semena-mena.
Merujuk
pada alasan tersebut, berikut ini dilihat sejarah perkembangan hukum agraria.
Penjabarannya dimulai dari hukum agraria Romawi Kuno, hukum agraria era
kolonial dan sejarah pembentukan UUPA sebagai hukum agraria nasional.
Hukum Agraria Romawi Kuno
Pada
zaman Roma kuno, hukum agraria dipahami sebagai seperangkat kaidah-kaidah hukum
yang mengatur pembagian tanah publik (ager publicus). Tanah publik yang
dimaksud adalah tanah yang diambil alih oleh Roma dari kota dan negara yang
telah ditaklukkan. Selama masih menjadi tanah publik, tanah tersebut ditempati
oleh penyewa yang membayar sewa kepada negara. Biasanya, para bangsawan
mendapat bagian terbesar dari tanah publik, dan pemilikan tanah publik
cenderung selalu menjadi hak prerogatif eksklusif orang kaya.
Hukum
agraria merupakan hasil dari upaya berkelanjutan dari kaum miskin untuk
mendapatkan beberapa bagian pada tanah publik. Ketika tanah tersebut diduduki
tanpa sewa, aspek hukumnya tidak lagi ketat. Ditambah, kebanyakan legislasi
agraria meniadakan hak istimewa yang menguntungkan yang dimiliki orang yang
memiliki power untuk mempertahankan tanah mereka. Hukum agraria dengan mudah
dilanggar bahkan secara diam-diam diabaikan.
Pada
tahun 486 SM, Spurius Cassius Viscellinus mencoba mengeluarkan undang-undang
yang menetapkan sejumlah lahan baru di Gaul (Prancis) kepada orang miskin Roma.
Namun, pengesahan undang-undang tersebut dicegah oleh orang Roma sendiri. Hukum
agraria awal yang sangat dikenal adalah Rogations Licinian yang dikeluarkan
oleh Caius Licinius Calvus Stolo pada tahun 377 SM. Undang-undang tersebut
membatasi secara ketat jumlah tanah yang dipegang oleh setiap warga negara dan
jumlah domba dan sapi yang digembalakan di tanah publik. Pada akhirnya, undang-undang
ini juga tidak dapat dilaksanakan. Sekitar tahun, 233 SM, Caius Flaminius
berhasil menetapkan beberapa tanah publik kepada warga miskin.
Upaya
serius berikutnya untuk memperbaiki situasi yang semakin sulit adalah
Undang-Undang Sempronian pada tahun 133 SM yang dirancang oleh Tiberius
Gracchus Sempronius. UU ini mengadopsi ketentuan Rogations Licinian dan
menambahkan batas maksimum jumlah kelebihan untuk setiap anak. Setiap bagian
yang menjadi kelebihan dari batas maksimum diberikan kepada orang miskin.
Untuk
melaksanakan undang-undang tersebut, sebuah komisi dibentuk untuk melaksanakan
hukum. Namun, senat melemahkan posisi komisi membuat uu tersebut tidak efektif.
Puncak keruntuhan upaya demokratis yang berakibat pada hukum agraria adalah
dekrit Domitianus. Dekrit ini menetapkan judul tanah publik di Italia kepada
mereka yang menempatinya. Konsekuensinya, kaum miskin semakin bergantung pada
orang kaya. Dengan begitu, semakin besar ketergantungan pada feodalisme.
Hukum Agraria Kolonial
Secara
historis, ketentuan hukum agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak
berdiri dan berkuasanya VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) hingga masa
penjajahan Jepang. Pada masa VOC terdapat sejumlah kebijakan di bidang
pertanian yang ujung-ujungnya menindas rakyat Indonesia.
Kebijakan
yang dimaksud, meliputi: Pertama, contingenten, dengan ketentuan bahwa pajak
hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni).
Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa
dibayar sepeser pun.
Kedua,
verplichte leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para
raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat
tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa
yang mereka hasilkan. Dan, ketiga, roerendiensten, yakni kebijakan mengenai
kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.
Setelah
kekuasaan VOC berakhir, terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir sebagai
akibat kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur
Herman Willem Daendles (1800-1811). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles
adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab
maupun bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah istilah tanah partikelir.
Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak
istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.
Pemerintahan
kemudian beralih ke Gubernur Thomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa
Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai
eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau
lebih dikenal dengan kebijakan Landrent.
Kebijakan
ini berangkat dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di
daerah swapraja di Jawa. Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja,
sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya.
Karena
kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat
hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih
pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan
digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh
karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris,
sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Pada
tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes
van den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa
untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak
lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian
tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun.
Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga
kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu
satu tahun.
Adanya
monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah
membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Disamping pada dasarnya
para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan
yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup
lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa
tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara
nyang masih kosong.
Kebijakan
hukum di bidang agraria di zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai
sekarang pengaruhnya adalah diberlakukannya Agrarische Wet(AW). AW ini
merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870.
Pemberlakuan AW di Indonesia dilsinyalisasi sebagai respon terhadap keinginan
perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk
berkembang di Indonesia.
Terbentuknya
AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah
hutan di Jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Terlihat jelas bahwa
diberlakukannya AW bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan
hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.
Selain
itu, AW juga bertujuan untuk: pertama, memperhatikan perusahaan swasta yang
bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang
berjangka waktu lama, sampai 75 tahun dan mengizinkan para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua, memperhatikan kepentingan rakyat asli
dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli dan memberikan kepada rakyat asli
hak tanah baru (Agrarische Eigendom).
Tujuan
adanya Agrarische eigendom sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan
haknya dapat dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk
menggantikan hak miliknya dengan menjadi agrarische eigendom tidak banyak
dipergunakan.
Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit. Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya
diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang
paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang
kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB).
AB
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula
juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein
tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan
Madura.
Maksud
dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga
tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk
memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya
pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindia Belanda dibagi menjadi dua jenis,
yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak
penduduk bumi putera. 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya
ada hak penduduk maupun desa.
Dalam
praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk
keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang
wajib membuktikan haknya.
Untuk
diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum
adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan
Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk
menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut
Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-tanah daerah swapraja; b)
tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah partikulir; dan d)
tanah-tanah eigendom agraria.
Selain
AW, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas
konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan
ruang angkasa.
Dalam
buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang
dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan Tanah
hak gebruis.
Disamping
hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak
Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat.
Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti
agrarische eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak
adat.
Tanah-tanah
hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S. 1834-1827 dan dipetakan oleh
Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat ini
tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya,
persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta
perolehannya, pembebanannya diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah
barat.
Tanah-tanah
hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat
yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut
tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak
milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk tanah-tanah
hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera Timur
dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.
Selanjutnya,
pada masa Penjajahan Jepang, kebijaksanaan pemanfaatan tanah dan penguasaan
tanah tidak tertib akibat kekacauaan di bidang pemerintahan. Selain itu, tujuan
utama dari kebijakan di bidang agraria adalah untuk menunjang kepentingan
Jepang. Pada masa itu juga mulai terjadi akupasi liar pada tanah-tanah
perkebunan atau penebangan liar dan usaha pengembalian kembali perkebunan milik
Belanda serta terjadi kerusakan fisik tanah karena politik bumi hangus dan
penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya. Pada masa penjajahan Jepang ini
tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk
bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis
formal bukan sebagai pembuktian hak.
Penyusunan Hukum Agraria
Nasional
Selain
sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat, Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 oleh Soekarno-Hatta memberi arti penting terhadap upaya penyusunan hukum
agraria nasional. Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia memutuskan
hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus berupaya membentuk hukum
agraria nasional.
Dengan
kata lain, proklamasi kemerdekaan menjadi titik awal untuk melaksanakan
pembangunan hukum di bidang agraria. Namun, dengan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta merta pemerintah dapat dengan mudah
membentuk hukum agraria nasional, hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama
sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat nasional.
Dengan
demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum), maka sambil
menunggu terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan
Undang-Undang Dasar ini”.
Dengan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan maupun peraturan
yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku
selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum
yang baru.
Proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengakibatkan bangsa
Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan
tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat
yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha
untuk menduduki tanah.
Sejak
pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah
mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal
berikut:
1.
Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan
tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
2.
Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat
laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang
penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil
perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di
daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
3.
Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
4.
Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan
kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk
itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian
soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian diatur dalam dua
tahap. Pada tahap pertama terlebih dahulu diusahakan agar agenda segala sesuatu
dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat dan penggarap.
Tahap
selanjutnya, apabila perundingan sebagaimana tidak berhasil, maka dalam rangka
penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersebut akan mengambil kebijakan
sendiri dengan memperhatikan kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak
perkebunan yang bersangkutan; dan kedudukan perusahaan perkebunan di dalam
susunan perekonomian negara.
Agar
pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka
diatur ketentuan sebagai berikut: a) kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak
atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya,
jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian; b) ancaman hukum
terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi; c) ancaman hukuman terhadap
mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah
perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan; dan d) ketentuan tentang harus
mengadakan pengosongan.
Untuk
mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah
megeluarakan peraturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak
yaitu Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960. Selain ketentuan di atas, dalam
upaya menata kembali hukum agraria, pemerintah telah membuat kebijakan dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1)
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak
Atas Tanah Perkebunan.
3)
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4)
Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda
yang kembali ke negerinya.
Lebih
dari itu, Pemerintah Indonesia pada dasarnya melakukan upaya menyesuaikan Hukum
Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka. Upaya
yang dilakukan itu mencakup: 1) menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru;
2) Penghapusan hak-hak konversi; 3) Penghapusan tanah partikelir; 4) Perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat; 5) Peraturan tambahan untuk mengawasi
pemindahan hak atas tanah; 6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah
perkebunan; 7) Kenaikan Canon dan Cijn; 8) Larangan dan penyelesaian soal
pemakaian tanah tanpa izin; 9) Peraturan perjanjian bagi hasil; dan 10) Peralihan
tugas dan wewenang agraria.
DAFTAR PUSTAKA
Bernhard
Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudance), cet. 1, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2009
Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8,
1999
Bryan
A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co,
2004
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Cetakan Keempat,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007
E.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar,
Jakarta, 1961
Gouwgioksiong,
Hukum Agraria Antar Golongan, Penerbit Universitas, Jakarta, 1959
J.
Valkhof, E.N.S.I.E. (Earste Nederlandsche Sistematisch Ingerichte Encyclopedie)
III, Amsterdam, 1947
J.B.
Daliyo dkk., Hukum Agraria, PT Prehlmlindo, APTIK, Jakarta, 2001
J.C.T.
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Gunung
Agung, Jakarta, 1960
John
Gilissen†, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar,
Refika Aditama, Bandung, 2005
Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan
Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja sama dengan Penerbit Alumni, Bandung,
2002
Padmo
Wahyono dalam Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2011
Prent
K Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Latin Indonesia, Semarang,
Yayasan Kanisius, 1960.
Suardi,
Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005
Subekti
dan Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1969.
The
Columbia Electronic Encyclopedia, 6th ed., Columbia University Press. 2007
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Urip
Santoso, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2009
Van
Apeldoorn, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983
0 Response to "Pengertian Dan Sejarah Hukuim Agraria Di Indonesia"
Post a Comment